SOSIOLOGI KELAS XII IPS
LEMBAGA SOSIAL
Pendahuluan
Manusia pada dasarnya hidup di dalam suatu lingkungan yang serba berpranata. Artinya, segala tindakan dan perilakunya senantiasa akan diatur menurut cara-cara tertentu yang telah disepakati bersama. Dalam studi sosiologi dan antropologi, cara-cara tertentu yang telah disepakti bersama itu disebut sebagai pranata sosial, atau dalam istilah lain lembaga sosial, atau kadang juga disebut sebagai organisasi sosial atau lembaga kemasyarakatan.
Apabila seseorang masuk di dalam suatu lingkungan sosial tertentu –misalnya keluarga atau sekolah— ia akan dilayani sekaligus terikat oleh seperangkat aturan yang berlaku di lingkungan tersebut sesuai dengan kedudukan/status dan perannya. Seseorang yang berkedudukan sebagai ayah dalam suatu keluarga akan dilayani sekaligus terikat oleh seperangkat aturan, misalnya setiap pagi akan disedikan minum teh atau kopi beserta kudapannya oleh seseorang yang berkedudukan sebagai isteri, sekaligus ia akan terikat oleh seperangkat aturan tertentu, misalnya harus melindungi keluarga, bertanggung jawab atas nafkah keluarga, bertindak mewakili keluarga terhadap keluarga atau pihak lain, dan seterusnya. Demikian juga seorang murid di suatu lingkungan sekolah, ia akan mendapatkan pelayanan tertentu, misalnya dalam hal pembelajaran, menerima informasi, dan sebagainya, tetapi sekaligus akan terikat oleh seperangkat norma yang berlaku, misalnya tentang prasyarat mengikuti pendidikan pada jenjang tertentu, untuk dapat mengikuti pendidikan di jenjang SMP harus lulus SD terlebih dahulu, untuk mengikuti pendidikan di jenjang SMA harus lulus SMP dulu, harus mengenakan seragam tertentu, harus mengikuti prosedur tertentu, misalnya dapat mengikuti ujian setelah mengikuti pendidikan dalam kurun waktu tertentu, dan seterusnya.
Di dalam kehidupan masyarakat, jumlah pranata sosial yang ada relatif beragam dan jumlahnya terus berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Selain pranata keluarga dan pendidikan seperti tersebut pada contoh di atas, masih banyak pranata sosial lain, yang secara umum memiliki fungsi yang sama, yaitu mengatur cara-cara warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan yang penting.
Setidaknya di dalam masyarakat terdapat lima pranata atau lembaga sosial yang pokok, yaitu: (1) keluarga, (2) pendidikan, (3) ekonomi, (4) politik, dan (5) agama. Namun, menurut ahli antropologi –seperti S.F. Nadel (1953) dan Koentjaraningrat (1979), di luar lembaga pokok yang telah disebutkan tadi, terdapat pranata lain, seperti: pranata ilmiah, pranata keindahan, dan juga pranata rekreasi.
Pengertian Pranata/Lembaga Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari, pengertian pranata sosial sering bias atau rancu dengan pengertian kelompok sosial atau asosiasi. Apalagi kalau menggunakan istilah lembaga sosial, organisasi sosial, atau lembaga kemasyarakatan. Pada uraian ini akan dijelaskan, bahkan ditegaskan, tentang pengertian pranata sosial, dan perbedaannya dengan kelompo sosial atau asosiasi.
Horton dan Hunt (1987) mendefinisikan pranata sosial sebagai lembaga sosial, yaitu sistem norma untuk mencapai tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting.
Di dalam sebuah pranata sosial akan ditemukan seperangkat nilai dan norma sosial yang berfungsi mengorganir (menata) aktivitas dan hubungan sosial di antara para warga masyarakat dengan suatu prosedur umum sehingga para warga masyarakat dapat melakukan kegiatan atau memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok.
Koentjarningrat (1979) menyatakan bahwa pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat untuk berinteraksi menurut pola-pola atau sistem tatakelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.
Terdapat tiga kata kunci dalam setiap pembahasan tentang pranata sosial, yaitu: (1) nilai dan norma sosial, (2) pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut dengan prosedur umum, dan (3) sistem hubungan, yaitu jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.
Pranata sosial pada dasarnya bukan merupakan sesuatu yang kongkrit, dalam arti tidak selalu hal-hal yang ada dalam suatu pranata sosial dapat diamati atau dapat dilihat secara empirik (kasat mata). Tidak semua unsur dalam suatu pranata sosial mempunyai perwujudan fisik. Bahkan, pranata sosial lebih bersifat konsepsional, artinya keberadaan atau eksistensinya hanya dapat ditangkap dan difahami melalui pemikiran, atau hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi yang ada di alam pikiran. Beberapa unsur pranata dapat diamati atau dilihat, misalnya perilaku-perilaku individu atau kelompok ketika melangsungkan hubungan atau interaksi sosial dengan sesamanya.
Hal penting yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa seorang individu atau sekelompok orang dapat saja datang dan pergi dalam suatu lembaga, tetapi fungsi individu atau kelompok dalam pranata hanyalah sebagai pelaksana fungsi atau pelaksana kerja dari suatu unsur lembaga sosial. Kedatangan atau kepergian individu atau sekelompok individu tidak akan menganggu eksistensi dari suatu lembaga sosial. Individu atau sekelompok individu di dalam pranata sosial, kedatangannya atau kepergiannya hanyalah berfungsi saling menggantikan.
Agar lebih jelas tentang pranata sosial, berikut disajikan tentang perbedaannya dengan kelompok sosial atau asosiasi.
Konteks per-bandingan Lembaga/Pranata Sosial Asosiasi/kelompok/badan sosial
Pengertian
* Suatu sistem norma khusus yang menata serangkaian tindakan berpola untuk keperluan khusus manusia dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat)
* Sistem pola sosial yang tersusun rapi dan secara relatif bersifat permanen, mengandung perilaku tertentu yang kokoh dan terpadu demi pemuasan kebutuhan pokok manusia (Bruce J. Cohen)
Orang-orang yang berkumpul membentuk unit atau satuan sosial:
* Saling berinteraksi
* Memiliki kesadaran sebagai satuan sosial dan solidaritas
* Membentuk sistem hidup bersama yang “melakukan suatu aktivitas” untuk mencapai tujuan tertentu
* Menghasilkan kebudayaan
(disarikan dari beberapa pengertian)
Komponen utamanya
* Komponen utamanya adalah aturan-aturan (sistem norma)
* Memiliki pengikut, orang-orang dalam lembaga dapat datang dan pergi tanpa menganggu eksistensi lembaga sosial, karena hanya melaksanakan fungsi dari suatu status atau kedudukan
* Komponen utamanya adalah orang-orang yang melakukan aktivitas dalam bidang tertentu
* Memiliki anggota; suatu kelompok akan bubar apabila orang-orang yang menjadi anggotanya keluar dari kelompok
Contoh
* Permainan olah raga sepak bola
* Jurnalistik
* Pendidikan Menengah Umum
* Perkawinan /keluarga
* Organisasi Kesiswaan
* Tim sepakbola: PSS, PSIM, PERSIJA, dst.
* PT Abdi Bangsa, Penerbit HU Republika
* SMA Negeri 3 Yogyakarta
* Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakem/Keluarga Pak Yekti
* OSIS
Institusionalisasi (Pelembagaan)
Proses pelembagaan atau instiusionalisasi adalah suatu proses penggantian tindakan-tindakan spontan dan coba-coba (eksperimental) dengan perilaku yang diharapkan, dipolakan, diatur, serta dapat diramalkan,
Seperangkat hubungan sosial dinyatakan melembaga (institutionalized) apabila:
1. Berkembang sistem yang teratur berkenaan dengan status dan peran yang harus dilaksanakan oleh seseorang dalam melakukan aktivitas atau memenuhi kebutuhan hidup tertentu
2. berkembang sistem harapan, status dan peran telah berlaku umum dan diterima sebagian besar warga masyarakat.
Proses berlangsungnya dapat digambarkan sebagai berikut. Orang mencari-cari cara untuk memenuhi kebutuhannya. Ditemukan cara yang terbukti mudah dilakukan dan berhasil baik. Selanjutnya cara tersebut diulang-ulang. Cara tersebut dibakukan sehingga mengikat para warga masyarakat untuk menggunakannya. Jika telah mengikat, artinya cara tersebut artinya telah melembaga. Ingat baik-baik tentang perkembangan norma mulai dari usage, folkways, mores, customs sampai dengan Law.
Tujuan dan fungsi lembaga sosial
Diciptakannya pranata sosial pada dasarnya mempunyai maksud serta tujuan yang secara prinsipil tidak berbeda dengan norma-norma sosial, karena pada dasarnya pranata sosial merupakan seperangkat norma sosial.
Secara umum, tujuan utama pranata sosial, selain untuk mengatur agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, juga sekaligus untuk mengatur agar kehidupan sosial para warga masyarakat dapat berjalan dengan tertib dab lancar sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. Contoh: pranata keluarga mengatur bagaimana keluarga harus merawat (memelihara) anak. Pranata pendidikan mengatur bagaimana sekolah harus mendidik anak-anak sehingga dapat menghasilkan lulusan yang handal.
Tanpa adanya pranata sosial, kehidupan manusia dapat dipastikan bakal porak poranda kaena jumlah prasarana atau sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia relatif terbatas, sementara jumlah orang yang membutuhkan justru semakin lama semakin banyak. Itulah mengapa semakin lama, seiring dengan meningkatkan jumlah penduduk suatu masyarakat, pranata sosial yang ada di dalamnya juga semakin banyak dan kompleks. Kompleksitas pranata sosial pada masyarakat desa akan lebih rendah daripada masyarakat kota.
Koentjaraningrat (1979) mengemukakan tentang fungsi pranata sosial dalam masyarakat, sebagai berikut:
1. Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang bagaimana bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya fungsi ini kaena pranata sosial telah siap dengan bebagai aturan atau kaidah-kaidah sosial yang dapat digunakan oleh anggota-anggota masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
2. Menjaga keutuhan masyarakat (integrasi sosial) dari ancaman perpecahan (disintegrasi sosial). Hal ini mengingat bahwa jumlah prasarana atau sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terbatas adanya, sedangkan orang-orang yang membutuhkannya semakin lama justru semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya, sehingga memungkinkan timbulnya persaingan (kompetisi) atau pertentangan/pertikaian (konflik) yang bersumber dari ketidakadilan atau perebutan prasarana atau sarana memenuhi kebutuhan hidup tersebut. Sistem norma yang ada dalam suatu pranata sosial akan berfungsi menata atau mengatur pemenuhan kebutuhan hidup dari para warga masyarakat secara adil dan memadai, sehingga keutuhan masyarakat akan terjaga.
3. Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam melakukan pengendalian sosial (social control). Sanksi-sanksi atas pelanggaran norma-norma sosial merupakan sarana agar setiap warga masyarakat konformis (menyesuaikan diri) terhadap norma-norma sosial itu, sehingga tertib sosial dapat terwujud. Dengan demikian, sanksi yang melakat pada setiap norma itu merupakan pegangan dari warga masyarakat untuk melakukan pengendalian sosial –meluruskan—warga masyarakat yang perilakunya menyimpang dari norma-norma sosial yang berlaku.
Karakteristik Lembaga Sosial
Dari uraian-uraian sebelumnya dapat ditemukan unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian atau konsep pranata sosial, seperti: (1) berkaitan dengan kebutuhan pokok manusia dalam hidup bermasyarakat, (2) merupakan organisasi yang relatif tetap dan tidak mudah berubah, (3) merupakan organisasi yang memiliki struktur, misalya adanya status dan peran, dan (4) merupakan cara bertindak yang mengikat.
Gillin dan Gillin mengemukakan ciri-ciri pranata sosial sebagaimana dikutip oleh Selo Soemadjan dan Soelaiman Soemardi (1964) dan Koentjaraningrat (1979) yang ringkasannya sebagai berikut:
1. Pranata sosial merupakan suatu organisasi pola pemikiran dan perilakuan yang terwujud sebagai aktivitas warga masyarakat yang berpijak pada suatu “nilai tertentu” dan diatur oleh: kebiasaan, tata kelakuan, adat istiadat maupun hukum.
2. Pranata sosial memiliki tingkat kekekalan relatif tertentu. Pranata sosial pada umumnya mempunyai daya tahan tertentu sehingga tidak cepat lenyap dari kehidupan bermasyarakat. Umur yang relatif lama itu karena seperangkat norma yang merupakan isi suatu pranata sosial terbentuk dalam waktu yang relatif lama dan tidak mudah, juga karena norma-norma tersebut berorientasi pada kebutuhan pokok, maka masyarakat berupaya menjaga dan memelihara pranata sosial tersebut sebaik-baiknya, apalagi kalau pranata tersebut berkaitan dengan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi
3. Pranata sosial mempunyai satu atau beberapa tujuan yang ingin dicapai atau diwujudkan.
4. Memiliki alat-alat perlengkapan baik keras (hardware) maupun lunak (soft ware) untuk mencapai atau mewujudkan tujuan-tujuan dari pranata sosial. Karena masing-masing pranata memiliki tujuan yang berbeda-beda, maka perlengkapannyapun berbeda antara satu pranata dengan pranata lainnya. Perlengkapan dalam pranata keluarga berbeda dari perlengkapan pada lembaga pendidikan, ekonomi, politik, maupun agama
5. Memiliki simbol atau lambang tersendiri. Lambang, di samping merupakan spesifikasi dari suatu pranata sosial, juga sering dimaksudkan secara simbolis menggambarkan tujuan atau fungsi dari suatu pranata. Lambang suatu pranata sosial daat berupa gambar, tulisan, atau slogan-slogan, yang dapat merupakan representasi ataupun sekedar menggambarkan spesifikasi dari pranata sosial yang besangkutan. Misalnya Burung Garuda atau Bendera Merah Putih dapat merepresentasikan Indonesia, sedangkan gambar buku dan pena merupakan gambaran dari spesifikasi suatu lembaga pendidikan.
6. Memiliki dokumen atau tradisi baik lisan maupun tertulis yang berfungsi sebagai landasan atau pangkal tolak untuk mencapai tujuan serta melaksanakan fungsi.
Unsur-unsur Lembaga Sosial
Menurut Horton dan Hunt (1987), setiap pranata sosial mempunyai unsur-unsur sebagai berikut.
1. Unsur budaya simbolik, misalnya cincin kawin dalam lembaga keluarga
2. Unsur budaya manfaat, misalnya rumah atau kendaraan dalam lembaga keluarga
3. Kode spesifikasi baik lisan maupun tertulis, misalnya akta atau ikrar nikah dalam lembaga keluarga
4. Pola perilakuan, misalnya pemberian perlindungan dalam lembaga keluarga
5. Ideologi, misalnya cinta dan kasih sayang dalam lembaga keluarga
Tipe Lembaga Sosial
Sebagaimana telah disampaikan pada uraian terdahulu, pranata sosial mempunyai tujuan-tujuan umum yang sama, yakni mengatur warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi apabila dirinci lebih lanjut, karena kebutuhan hidup itu juga bermacam-macam, di dalam masyarakat dijumpai pranata sosial yang bermacam-macam tipologinya.
Gillin dan Gillin (1954) mengemukakan tipe-tipe pranata sosial (dikutip oleh Koentjaraningrat, juga oleh Soerjono Soekanto) sebagai berikut.
1. Menurut perkembangannya, dibedakan antara crescive dan enacted institutions, yakni pranata sosial yang tumbuh dengan sendirinya dan lembaga yang sengaja dibentuk.
2. Berdasarkan orientasi nilainya, dibedakan antara pranata sosial dasar (basic institutions) dan subsider (subsidiary institutions), yakni lembaga sosial yang berdasarkan nilai dasar dan vital, misalnya keluarga, agama, dst., dan lembaga sosial yang dibangun di atas dasar nilai yang tidak penting, misalnya rekreasi.
3. Dari sudut penerimaan masyarakat, ditemukan lembaga sosial bersanksi dan tidak bersanksi, yakni lembaga sosial yang adanya diharapkan oleh masyarakat, misalnya perkawinan, dan lembaga sosial yang keberadaannya ditolak oleh masyarakat, misalnya kumpul kebo (cohabitation).
4. Dari sudut komppleksitas penyebarannya, dibedakan antara pranata sosial umum (general institutions) dan lembaga sosial terbatas (restricted instutions), yakni lembaga sosial yang ditemukan dalam setiap masyarakat, misalnya keluarga, dan lembaga sosial yang hanya ditemukan pada masyarakat yang terbatas, misalnya keluarga patrilineal.
5. Berdasarkan fungsinya, dibedakan antara pranata sosial operatif (operative institutions) dengan pranata sosial regulatif (regulative institutions), yakni lembaga sosial yang fungsinya memproduksi atau menghasilkan jasa atau barang kebutuhan masyarakat, dan lembaga yang fungsi utamanya menciptakan keteraturan (regulasi) dalam masyarakat. Bedakan antara lembaga pendidikan atau ekonomi/industri dengan lembaga kepolisian, kejaksaan, atau kehakiman.
Pranata Sosial yang Pokok
Sebagaimana telah disebut di bagian depan uraian ini, di dalam masyarakat dijumpai setidaknya lima pranata sosial pokok, yaitu: (1) keluarga, (2) agama, (3) ekonomi. (4) politik, dan (5) pendidikan, di samping adanya pranata-pranata yang berada di luar itu, seperti pranata ilmiah, pranata keindahan, dan pranata rekreasi. Berikut ini akan diuraikan tentang lima lembaga pokok.
Pranata Keluarga
Pranata keluarga adalah pranata yang berfungsi untuk menata atau mengatur aktivitas warga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Keluarga merupakan pranata sosial dasar dan bersifat universal. Keluarga merupakan pusat terpenting dari pranata-pranata lainnya. Di masyarakat mana pun di dunia ini, akan selalu dijumpai pranata keluarga.
Horton dan Hunt (1987) mengemukakan bahwa, istilah keluarga umumnya digunakan untuk menyebut: (1) suatu kelompok yang memiliki nenek moyang yang sama, (2) suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh hubungan darah atau perkawinan, (3) pasangan perkawinan, dengan atau tanpa anak-anak, (4) pasangan perkawinan yang mempunyai anak, (5) satu orang –dua atau janda—dengan beberapa anak.
Aktivitas warga masyarakat yang diatur oleh lembaga keluarga antara lain: (1) masalah kelangsungan keturunan hidup, hal ini menyangkut kebutuhan akan relasi seksual antara pria dan wanita yang diatur oleh lembaga perkawinan, (2) masalah perawatan atau pemeliharaan anak-anak baik yang bersifat fisik, biologis, psikologis maupun sosial, dan (3) hubungan persaudaraan, darah, kekerabatan dan organisasi kekeluargaan.
Berdasarkan orientasi atau proses pembentukannya, Horton dan Hunt (1987) membedakan antara keluarga konjugal (conjugal family) atau keluarga inti dengan keluarga konsanguinal (consanguine family) atau keluarga kerabat. Keluarga konjugal adalah keluarga yang dibentuk oleh perkawinan. Anggota keluarga ini adalah suami, isteri, dan anak-anak yang belum kawin. Kadang juga dinamakan sebagai the family of procreation. Dalam keluarga ini anggota keluarga lebih menekankan pada pentingnya hubungan perkawinan dari pada hubungan darah. Keluarga konsanguinal adalah keluarga yang didalamnya seseorang dilahirkan. Sering disebut sebagai the family of orientation. Dalam keluarga jenis ini hubungan darah lebih dipentingkan dari pada hubungan perkawinan.
Keluarga inti
Keluarga inti (atau biasanya disebut dengan istilah keluarga saja) adalah keluarga yang terdiri atas ayah atau suami, ibu atau isteri dengan atau tanpa anak-anak baik yang dilahirkan maupun yang diadopsi (anak angkat). Istilah lainnya adalah: keluarga batih, somah atau nuclear family.
Beberapa pranata sosial dasar yang berhubungan dengan keluarga inti adalah: (1) kencan (dating), (2) peminangan, (3) pertunangan, dan (4) perkawinan. Tidak semua pranata sosial dasar ini dijumpai pada suatu masyarakat atau sukubangsa. Pranata kencan atau dating mungkin banyak dijumpai pada masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara, tetapi tidak banyak dijumpai pada masyarakat Timur seperti Indonesia.
Pranata kencan (dating)
Kencan merupakan perjanjian sosial yang secara kebetulan dilakukan oleh dua individu yang berlainan jenis kelaminnya untuk mendapatkan kesenangan. Pada umumnya, kencan ini mengawali suatu perkawinan. Jadi fungsi kencan yang sebenarnya adalah memberi kesempatan bagi kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) untuk saling mengenal, atau bahkan saling menyelidiki kepribadian, sebelum mereka berdua mengikatkan diri dalam suatu perkawinan.
Tidak semua keluarga dari berbagai bagian dunia ini mengikuti pranata sosial kencan ini. Dalam suatu masayarakat di mana jodoh itu ditentukan oleh orangtua, maka pranata kencan tidak dijumpai, atau bahkan dilarang.
Dewasa ini, pada beberapa masyarakat, kencan tidak selalu diorientasikan kepada terbentuknya perkawinan atau keluarga, melainkan hanya untuk tujuan bersenang-senang, sehingga dapat dilakukan oleh orang-orang yang saling suka meskipun tidak bermaksud membentuk suatu keluarga.
Pranata Peminangan (courtship)
Apabila melalui pranata kencan hubungan antara dua individu berjenis kelamin berbeda itu telah mantap, maka dapat dilanjutkan dengan peminangan, yaitu permintaan untuk menjalin sebuah hubungan eksklusif (khusus dan tertutup) di antara dua orang berbeda jenis kelamin yang akan melangsungkan perkawinan. Peminangan dapat dilakukan oleh pihak laki-laki maupun pihak perempuan, sesuai dengan pranata sosial yang berlaku. Pada masyarakat Minangkabau, peminangan dilakukan oleh pihak perempuan. Pada banyak masyarakat dilakukan oleh pihak laki-laki.
Pranata Pertunangan (mate-selection)
Pertunangan dapat diartikan sebagai hubungan yang diumumkan secara resmi/formal di antara laki-laki dengan perempuan yang bermaksud untuk menikah. Pranata pertunangan ini lebih banyak dikenal di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Sementara di masyarakat Asia, pertunangan hanya dilakukan di kalangan tertentu, biasanya di kalangan menengah atas atau orang kota.
Pranata Perkawinan (marriage)
Pranata terakhir yang berkaitan dengan pembentukan keluarga inti adalah perkawinan, yang secara sosiologis dapat diartikan sebagai ikatan antara seorang laki-laki atau lebih dengan seorang perempuan atau lebih yang terbentuk atau berlangsung melalui persetujuan masyarakat. Konsekuensi dari suatu perkawinan adalah adanya status baru (suami dan isteri) yang diikuti dengan sederet hak dan kewajiban atau tanggung jawab baru.
Horton dan Hunt (1987) memberikan batasan bahwa perkawinan merupakan pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga.
Menurut UU Perkawinan RI, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Mahaesa (Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974). Definisi menurut undang-undang ini agak berbeda dengan definisi sosiologi, karena landasan berfikir yang berbeda. Definisi menurut undang-undang berpijak pada bagaimana sebaiknya suatu peristiwa sosial itu berlangsung, sedangkan definisi sosiologi lebih berdasarkan pada bagaimana suatu peristiwa sosial itu apa adanya (taken from granted). Sehingga dalam definisi sosiologi, perkawinan dapat diartikan sebagai ikatan antara seorang laki-laki atau beberapa laki-laki dengan seorang wanita atau beberapa wanita dalam suatu hubungan suami isteri dan diberi sanksi sosial. Definisi ini didasarkan pada kenyataan, bahwa perkawinan tidak selalu merupakan ikatan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki (monogami), melainkan dapat berlangsung dalam bentuk poligami, dapat antara seorang laki-laki dengan lebih dari satu perempuan (poligini), seorang perempuan dengan beberapa laki-laki (poliandri), atau bahkan beberapa laki-laki dengan beberapa perempuan (conogami atau group marriage).
Pijakan sahnya perkawinan dapat didasarkan pada ketentuan adat, agama, ataupun hukum negara, dan suatu perkawinan akan memiliki legalitas yang kuat apabila dilangsungkan sesuai dengan tiga ketentuan tersebut, jadi sah secara adat, sah secara agama, dan sah secara hukum negara. Perkawinan siri merupakan contoh perkawinan yang sah menurut ketentuan agama, tetapi tidak menurut hukum negara.
Keluarga Luas
Keluarga luas lebih didasarkan pada pertalian atau ikatan darah atau ketutunan daripada ikatan perkawinan, sehingga sifatnya lebih stabil, karena eksistensinya tidak terganggu oleh adanya perceraian.
Karena dasar utamanya adalah garis keturunan, maka dapat dibedakan antara keluarga luas parental (bilateral) yang menghitung garis keturunan melalui pihak laki-laki (ayah) maupun perempuan (ibu), dan keluarga luas unilineal, yang menghitung garis keturunan berdasarkan keturunan ayah saja (patrilineal), atau ibu saja (matrilineal).
Keluarga Luas Bilateral (Parental)
Keluarga luas bilateral menentukan garis keturunan berdasarkan garis keturunan dua pihak, laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu). Sehingga, dapat dipastikan dalam keluarga luas bilateral, semua kerabat biologis akan sekaligusmenjadi kerabat kultural. Seseorang akan mempunyai dua orang kakek, yaitu ayahnya ayah dan ayahnya ibu, dan dua orang nenek, yaitu ibunya ayah dan ibunya ibu. Keluarga jenis ini dijumpai pada banyak masayarakat, antara lain Jawa dan Sunda.
Keluarga Luas Unilineal
Pada keluarga luas unilineal garis keturunan ditentukan berdasarkan satu pihak, yaitu ibu saja atau ayah saja, sehingga tidak semua kerabat biologis otomatis menjadi kerabat kultural.
Pada keluarga luas matrilineal, garis keturunan ditentukan berdasarkan garis ibu, sehingga ayahnya ibu, anak dari anak laki-laki, anaknya saudara laki-laki ibu, dan seterusnya, meskipun secara biologis adalah kerabat, tetapi secara kultural mereka bukanlah kerabat.
Sebaliknya, pada keluarga luas patrilineal, garis keturunan ditentukan berdasarkan garis ayah, sehingga ibunya ayah, anak dari anak perempuan, anaknya saudara perempuan ayah, dan seterusbya, meskipun secara biologis adalah kerabat, tetapi secara kultural mereka bukanlah kerabat.
Pola menetep setelah menikah
Lingkup pranata keluarga juga meliputi Di dalam masyarakat terdapat beberapa pola menetap (residence pattern), seperti:
1. Patrilokal (menetap di keluarga pihak suami)
2. Matrilokal (menetap di keluarga pihak isteri)
3. Ambilokal atau utrolokal (memilih di pihak suami atau isteri)
4. Natalokal (di tempat lahir masing-masing)
5. Neolokal (menetap di tempat tinggal yang baru)
6. Avunkolokal (di keluarga saudara laki-laki ibu)
Fungsi Keluarga
Karena dalam banyak masyarakat, keluarga dianggap sangat penting dan menjadi pusat perhatian kehidupan individu, bahkan anggota keluarga yang satu memperlakukan anggota keluarga lain sebagai tujuan, maka fungsi keluarga dalam banyak masyarakat relatif sama. Secara rinci, beberapa fungsi dari keluarga adalah:
* Fungsi Reproduksi atau pengaturan keturunan
Fungsi ini merupakan hakikat dari keluarga untuk menjaga kelangsungan hidup manusia dan sebagai dasar kehidupan sosial manusia dan bukan sekedar kebutuhan biologis saja. Fungsi ini didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sosial, misalnya melanjutkan keturunan, mewariskan harta kekayaan, ataupun jaminan di hari tua.
* Fungsi Afeksi atau kasih sayang
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa kenakalan yang serius merupakan salah ciri khas anak-anak yang di keluarganya tidak merasakan kasih sayang.
* Sosialisasi atau pendidikan
Fungsi ini adalah untuk mendidik anak mulai dari awal sampai pertumbuhan anak hingga terbentuk kepribadian atau personality-nya. Anak-anak itu lahir tanpa bekal keterampilan sosial, maka agar anak dapat berpartisipasi dalam kehidupan sosial, orangtua perlu mensosialisasikan tentang nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku di masyarakatnya. Anak-anak harus dibelajarkan tentang suatu hal, apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang baik dan tidak baik, sehingga si anak dapat hidup wajar dan diterima oleh sesama anggota masyarakat/kelompoknya.
* Fungsi Ekonomi atau produksi
Suatu keluarga diharapkan menjalankan fungsi ekonomi, dalam arti dapat menjamin pemenuhan kebutuhan material para anggota keluarga. Fungsi ini harus berjalan, karena para anggota keluarga memiliki kebutuhan-kebutuhan yang bersifat material yang untuk memenuhinya harus ada pengorbanan-pengorbanan yang bersifat ekonomi. Dalam banyak masyarakat, seorang suami atau ayah dituntut untuk menjalankan fungsi produksi untuk menjamin nafkah bagi keluarganya. Dalam masyarakat yang telah menganut kesetaraan laki-laki perempuan, fungsi produksi dalam arti mencari nafkah tidak hanya merupakan beban laki-laki, tetapi dapat menjadi tugas bersama antara seorang suami dan isteri.
Apabila fungsi ekonomi keluarga ini tidak terjamin, dapat menganggu pelaksanaan fungsi-fungsi lain dari keluarga, seperti afeksi dan sosialisasi.
* Pelindung atau proteksi
Yang dimaksud adalah bahwa keluarga diharapkan menjalan fungsi sebagai pelindung bagi para anggota-anggotanya sehingga dapat menikmati keadaan yang dirasa aman dan tanpa ancaman dari pihak manapun
* Penentuan status
Pada masyarakat feodal atau berkasta, di mana status seseorang lebih banyak diberikan berdasarkan keturunan, keluarga berfungsi mewariskan status sosial kepada para anggotanya. Misalnya status sebagai bangsawan atau kedudukan dalam kasta.
* Pemeliharaan
Keluarga pada dasarnya memiliki fungsi memelihara anggota-anggotanya sehingga mereka dapat hidup dengan nyaman dan terbebaskan dari berbagai penderitaan, termasuk penyakit-penyakit. Fungsi pemeliharaan ini sangat dirasakan oleh para anggota keluarga yang masih di bawah usia lima tahun, juga bagi yang telah lanjut usia atau jompo.
Dalam perkembangannya, sesuai dengan semakin kompleksnya lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, beberapa fungsi keluarga dialihkan kepada lembaga lain, misalnya sebagian fungsi edukasi dialihkan ke lembaga pendidikan atau sekolah, pada golongan menengah ke atas atau masyarakat kota, pengalihan fungsi ini telah dilakukan sejak dini, misalnya anak usia 3 atau 4 tahun sudah disertakan dalam pendidikan usia dini atau play group. Kemudian fungsi perawatan anak sebagian dialihkan ke lembaga pentitipan anak, fungsi proteksi banyak diambil alih oleh negara melalui aparat kepolisian atau para petugas keamanan masyarakat, dan sebagainya.
Tidak semua keluarga dapat menjalankan fungsi-fungsi di atas dengan baik. Kegagalan keluarga menjalankan fungsi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
* Faktor pribadi, misalnya suami-isteri kurang menyadari akan arti dan fungsi perkawinan yang sebenarnya. Misalnya egoisme, kurang mampu bertoleransi, kurang adanya saling-percaya, dan sebagainya
* Faktor situasi khusus dalam keluarga, seperti: pengaruh atau intervensi orangtua dari suami dan/atau isteri, isteri bekerja dan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari suaminya, tinggal bersama dengan keluarga inti lain dalam sebuah rumah tangga, suami dan atau isteri terlalu sibuk dengan pekerjaan dan kariernya.
Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan disfungsi dalam keluarga, misalnya terganggunya fungsi biologis/reproduksi karena suami atau isteri jarang di rumah, orangtua kurang mampu memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anaknya, orangtua tidak mampu menanamkan sense of value kepada anak-anaknya, dan sebagainya.
Disfungsi dalam keluarga apabila dibiarkan dapat menyebabkan broken home atau disintegrasi keluarga.
Pranata Agama
Kajian tentang agama dapat dibedakan menjadi dua dimensi, yaitu teologis dan sosiologis. Kajian agama dalam dimensi teologis berangkat dari adanya klaim tentang kebenaran multlak ajaran suatu agama bagi para pengikut atau pemeluknya. Doktrin-doktrin agama yang diyakini berasal dari Tuhan, kebenarannya melampui kemampuan akal atau pikiran manusia, sehingga hanya dapat diyakini dengan dimilikinya sesuatu dalam hati/diri manusia yang disebut iman.
Sedangkan dalam dimensi sosiologis, agama dipandang sebagai salah satu institusi atau pranata sosial. Karena posisinya sebagai sub dari sistem sosial, maka eksistensi dan peran agama dalam suatu masyarakat adalah sebagaimana eksistensi dan peran dari subsistem lainnya, misalnya politik, ekonomi, pendidikan, ataupun keluarga.
Sosiologi memandang suatu agama bukan pada masalah kebenaran dari doktrin, keyakinan, atau ajaran-ajarannya, melainkan bagaimana doktrin, keyakinan atau ajaran-ajaran itu mewujud dalam perilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari. Studi tentang perilaku keberagamaan manusia sebagai suatu realitas kehidupan sosial itu kemudian dikenal sebagai sosiologi agama. Dalam sosiologi agama, agama dan keberagamaan seseorang semata-mata dianggap sebagai salah satu dari berbagai gejala sosial.
Definisi agama menurut pandangan sosiologi dapat dilihat antara lain pada definisi menurut Emmile Durkheim, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktik-praktik (tingkah laku) yang berhubungan dengan hal-hal yang dianggap suci atau sakral (sacred), dan menyatukan semua penganutnya ke dalam satu komunitas moral yang disebut umat (church).
Sebagai suatu sistem keyakinan, agama berbeda dengan isme-isme yang lain. Agama diyakini oleh para penganutnya sebagai hal yang berpijak pada: (1) sesuatu yang dianggap sacred (suci), (2) bersifat supranatural, dan (3) ajaran bersumber dari Tuhan yang diturunkan melalui para Nabi atau Rasul, sedangkan isme-isme lainnya: (1) didasarkan pada hal-hal yang bersifat profane (biasa), (2) bersifat natural, dan (3) bersumber dari gagasan/idea tokohnya.
Sesuatu yang dianggap suci dan sacral pada umumnya disebut Tuhan. Istilah lain: Allah, Illah, Elly, Ellyas, Dewa, Deva, Dewi, Devi, dan sebagainya. Menurut Rudolf Otto (antropolog) sesuatu yang dinyatakan sebagai Tuhan oleh berbagai masyarakat memiliki tiga ciri, yaitu: (1) mysterious (tidak terjawab oleh jangkauan pemikiran manusia), (2) tremendous (tidak terkalahkan), (3) fascination (mempesona).
Pranata agama mempunyai fungsi utama mengatur aktivitas warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan berhubungan dengan sesuatu yang dianggap suci atau sacral tersebut.
Pranata agama berhubungan dengan segenap komponen yang berkaitan dengan kehidupan beragama, yaitu: (1) sistem keyakinan, (2) emosi keagamaan, (3) sistem ritus atau upacara keagamaan, (4) alat-alat ritus, (5) umat, yakni satuan sosial yang terdiri atas orang-orang yang memiliki sistem keyakinan (agama) yang sama.
Fungsi nyata (manifest) lembaga agama:
1. Menyangkut pola keyakinan (doktrin) yang menentukan sifat dan mekanisme hubungan antara manusia dengan Tuhannya
2. Ritual yang melambangkan doktrin dan mengingatkan manusia pada doktrin tersebut serta seperangkat perilaku yang konsisten dengan doktrin tersebut
3. Menyatukan pemeluknya ke dalam satu komunitas moral yang disebut umat
4. Dalam beberapa negara lembaga agama melaksanakan fungsi pengendalian Negara
Fungsi laten lembaga agama:
1. Menciptakan lingkungan kehidupan beragama, misalnya masjid, di samping yang utama sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi medium pergaulan sosial dan komunikasi di antara para penganut agama Islam, termasuk penentuan dan pemilihan jodoh
2. Menciptakan lingkungan kebudayaan (musik, seni baca, lagu-lagu, kitab, dan seterusnya)
3. Tumbuhnya bangunan-bangunan sebagai tempat ibadah dengan arsitektur yang indah dan megah, misalnya masjid agung, gereja, dan seterusnya.
4. Menjalankan fungsi pendidikan dan pewarisan pengetahuan
Pranata Ekonomi
Pranata ekonomi lahir ketika orang-orang mulai mengadakan pertukaran barang secara rutin, membagi-bagi tugas, dan mengakui adanya tuntutan dari seseorang terhadap orang lain (Horton dan Hunt, 1987). Ketika manusia masih hidup pada taraf yang sangat sederhana (primitive) dengan cara mengumpulkan biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan, kebutuhan akan adanya pranata ekonomi belum mendesak dan tidak penting. Tiap-tiap keluarga akan menjalankan fungsi ekonomi secara subsisten, keluarga-keluarga tersebut memproduksi sesuatu yang dikonsumsi sendiri, tidak ada pasar, sehingga tidak memerlukan penataan tentang perdagangan (pertukaran barang dan jasa).
Masalahnya berubah ketika orang-orang mulai memerlukan barang yang diproduksi oleh orang lain, para tetanga atau kerabatnya. Kebutuhan akan pranata yang mengatur mengenai distribusi atau pertukaran barang dan jasa mulai dirasakan. Proses pertukaran itu mukai ditata dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu yang disepakati bersama. Proses-proses itu kemudian distandardisasi sehingga membentuk pola dan keajegan tertentu yang mengikat dan dapat diramalkan. Lahirlah pranata ekonomi, yang menata aktivitas masyarakat berkaitan dengan kebutuhan akan barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi oleh pihak lain. Kegiatan yang diatur oleh lembaga ekonomi meliputi produksi, distribusi, dan konsumsi.
Elemen dasar pranata ekonomi
Struktur pranata ekonomi pada dasarnya bervariasi dalam berbagai masyarakat, ada yang sederhana ada yang rumit, tergantung pada: (1) elemen dasar proses ekonomi yang ada, apakah gathering, produksi, distributing, ataukah servicing, dan (2) faktor-faktor yang menentukan struktur ekonomi, misalnya tanah, tenaga kerja, modal, teknologi, dan kewiraswastaan.
Kompleksitas pranata ekonomi akan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tipe pranata ekonomi yang berlaku. Masyarakat berburu dan meramu akan memiliki kompleksitas pranata yang berbeda dari masyarakat pertanian, apalagi kalau dibandingkan dengan masyarakat industri maju. Sistem ekonomi yang berlaku, apakah sosialis, kapitalis, atau lainnya, juga mempengaruhi pranata sosial yang berlaku.
Sistem Ekonomi Campuran
Terkait dengan sistem ekonomi masyarakat, Horton dan Hunt (1987) menyatakan bahwa dewasa ini tidak ada masyarakat yang sepenuhya kapitalis. Masyarakat yang dikenal sebagai masyarakat kapitalis, sesungguhnya menerapkan sistem ekonomi campuran, di mana harta milik pribadi dan sistem keuntungan digabungkan dengan sejumlah campur tangan dan intervensi pemerintah.
Sistem ekonomi campuran memberikan peluang adanya inisiatif individu yang lebih besar daripada sistem komunis dan fasis. Pada sistem komunis dan fasis, kontrol negara terhadap aktivitsa ekonomi sangat dominan. Pada sistem komunis, segenap regulasi ekonomi, termasuk tingat harga, tingkat gaji serta jenis barang yang diproduksi ditentukan oleh badan pusat perencanaan. Di negara-negara fasis, meskipun pemilikan perusahaan secara pribadi diperkenankan, tetapi keuntungan yang diperoleh lebih diutamakan untuk kepentingan negara.
Dalam perkembangan terakhir, sejak era 1990-an telah ada tanda-tanda keruntuhan masyarakat ekonomi sosialis. Diterapkannya perestroika dan glasnost oleh Gorbachev di Uni Soviet serta runtuhnya tembok Berlin merupakan awal keruntuhan masyarakat sosialis dan pelan-pelan bergeser ke tipe masyaraat kapitalis.
Fungsi Pranata Ekonomi
Lepas dari masalah kompleksitas pranata, fungsi utama pranata ekonomi adalah mengatur kegiatan atau aktivitas warga masyarakat yang berkaitan dengan:
1. Kegiatan produksi, meliputi berbagai aktivitas produksi baik yang tradisional seperti berburu dan meramu, ladang berpindah (shifting cultivation), bercocok tanam menetap di ladang, di sawah, beternak, perikanan, maupun aktivitas produksi modern yakni industri yang menghasilkan barang, jasa-jasa, maupun informasi.
2. Kegiatan distribusi, meliputi berbagai pertukaran barang dan jasa (resiprositas), berbagai bentuk mekanisme pemerataan (leveling mechanism), berbagai macam redistribusi, berbagai bentuk pertukaran di pasar baik yang secara tunai maupun berdasarkan kepercayaan (berbagai macam kredit)
3. Kegiatan konsumsi, meliputi aktivitas mengkonsumsi barang dan jasa yang diproduksi sendiri (subsistence economic) maupun aktivitas memperoleh barang dan jasa di pasar.
Fungsi laten lembaga ekonomi:
1. Mengubah dan kadang-kadang merusak lingkungan, misalnya sebagai dampak dari penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas
2. Mengubah pola penggunaan waktu. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan warga masyarakat untuk mengejar efisiensi dan produktivitas.
Pranata Politik
Sejak Adam dan Hawa mempunyai keturunan, dan keturunannya itu melipatganda, maka muka bumi ini mulai dipadati oleh manusia. Sebagai mahluk yang bersifat sosial, manusia hidup berkelompok pada daerah-daerah yang subur, berdasarkan keturunan, ras, etnisitas, agama, ataupun matapencaharian. Sepanjang masing-masing pihak yang hidup bersama tersebut dapat saling tenggangrasa (toleransi) dan sumber-sumber pemenuhan kebutuhan hidup dapat mencukupi, sebanyak apapun manusia yang hidup bersama tidaklah menjadi masalah, Masalah menjadi lain, kalau masing-masing yang hidup mendiami daerah-daerah tersebut mempunyai kepentingan dan kebutuhan yang sama, sementara hal yang menjadi pemenuh kebutuhan atau kepentingan tersebut terbatas adanya, mereka akan terlibat persaingan, pertikaian, bahkan harus berperang untuk memperebutkannya.
Thomas Hobbes memberikan ilustrasi sederhana mengenai hal ini, jika ada dua orang membutuhkan hal yang sama, akan tetapi hanya satu orang yang akan memperolehnya, maka mereka akan saling bermusuhan –masing-masing pihak akan menganggu dan menindas pihak lain untuk mencapai tujuannya, yaitu kelangsungan hidupnya. Sementara itu, pihak yang tertindas akan membalasnya sebab hal itu menyangkut hidup dan mati. Maka, perang tidak dapat dihindarkan.
Menyadari bahwa hidup bersama tanpa aturan akan bisa menjadi boomerang yang memusnahkan kelangsungan hidup manusia, maka lahirlah pranata politik.
Kornblum mendefinisikan pranata politik sebagai seperangkat norma dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan wewenang, termasuk kewenangan menggunakan paksaan fisik. Di masyarakat manapun, kalau tidak ada pranata politik yang diberi kewenangan untuk melaksanakan hukuman atau paksaan fisik, maka negara akan hilang dan yang terjadi adalah anarkhi.
Disamping mengatur siapa yang berwenang untuk menggunakan paksaan fisik, pranata politik juga berfungsi untuk mencapai kepentingan bersama dari anggota-anggota kelompok/masyarakat.
Sampai di sini, akhirnya bisa disimpulkan bahwa kebutuhan akan pranata politik, adalah karena kelompok-kelompok dalam masyarakat memerlukan adanya asosiasi atau kelompok tertentu yang dapat menguasai kelompok-kelompok lainnya, karena kepada kelompok atau asosiasi tersebut diberikan wewenang untuk menggunakan hukuman dan paksaan fisik karena didukung oleh adanya aparat (tentara, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan). Asosiasi dan nilai-nilai yang mendasarinya tersebut kemudian dilembagakan (institutionalized) dan secara riil diterima sebagai pola-pola perilaku dalam masyarakat, demi kelanggengan masyarakat. Asosiasi itu kemudian disebut negara, yang dilengkapi dengan aparat pemerintahan, nilai-nilai bersama yang dijunjung tinggi serta diwujudkan dalam konstitusi, berupa undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, dan seterusnya.
Pengertian dan ciri pranata politik
Dalam berbagai literature sosiologi, terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut pranata politik. McIver menyebutnya sebagai “negara”, Zanden menyebutnya sebagai “perilaku politik”, sedangkan Gillin dan Gillin menyebutnya institusi politik. Apapun istilahnya, pranata yang dimaksud mempunyai dua ciri utama, yaitu: (1) mempunyai kewenangan untuk menggunakan kekuatan fisik, dan (2) mampu memenuhi kebutuhan hidup sendiri (self sufficient).
Berdasarkan hal tersebut, pranata politik akan menyangkut masalah negara, pemerintahan, kekuasaan, partai politik, kebijakan, dan sebagainya. Hanya perlu ditekankan, istilah negara tidak sama dengan pemerintahan. Pemerintahan adalah aparatnya negara yang melaksanakan fungsi-fungsi dan kekuasaan negara. Jadi, pemerintahan hanyalah salah satu unsur negara.
Karakteristik pranata politik adalah: (1) adanya suatu komunitas manusia yang secara sosial bersatu atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama, (2) adanya asosiasi politik, yaitu pemerintahan yang aktif, (3) asosiasi tersebut melaksanakan fungsi-fungsi untuk kepentingan umum, dan (4) asosiasi tersebut diberi kewenangan dalam luas jangkauan dalam territorial tertentu.
Fungsi pranata politik
James W. Vender Zanden menyebutkan bahwa pranata politik di masyarakat manapun pada dasarnya memiliki empat fungsi, yaitu:
1. Pemaksaan norma (enforcement norms)
2. Merencanakan dan mengarahkan
3. Menengahi pertentangan kepentingan (arbritasi)
4. Melindungi masyarakat dari serangan musuh yang berasal dari luar masyarakatnya, baik dengan diplomasi maupun kekerasan (perang).
Dalam rumusan lain, pranata politik berfungsi:
1. Memelihara ketertiban di dalam (internal order)
2. Menjaga keamanan dari luar (external security)
3. Melaksanakan kesejahteraan umum (general welfare)
Di samping itu, terdapat fungsi laten lembaga politik, yaitu:
1. Menciptakan stratifikasi politik, yakni munculnya penguasa dan yang dikuasai. Bahkan dalam suatu masyarakat sering muncul jenjang atau rentang stratifikasi politik yang jauh, yakni penguasa absolut di satu pihak dan tuna kuasa (power less) di pihak lain.
2. Partai politik sebagai social elevator (saluran mobilitas sosial vertikal), misalnya yang terjadi pada para pemimpin partai pemenang pemilihan umum (pemilu).
Pranata Pendidikan
Lembaga pendidikan mempunyai fungsi utama menata tentang proses sosialisasi ilmu pengetahuan, teknologi, seni (IPTEKS) maupun kebudayaan kepada para generasi penerus.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merujuk pada UU Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 20 Tahun 2003). Poin-poin penting mengenai sistem pendidikan di Indonesia antara lain
1. Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
3. Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Pendidikan formal
1. Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
2. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
3. Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
Pendidikan Nonformal
1. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat
2. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
3. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
4. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
5. Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
6. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pendidikan Informal
1. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
2. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan
Pendidikan Anak Usia Dini
1. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar
2. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
3. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), raudatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
4. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
5. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan
Pendidikan Kedinasan
1. Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
2. Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.
3. Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
Pendidikan Keagamaan
1. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
3. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
4. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
Pendidikan Jarak Jauh
1. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
2. Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.
3. Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus.
1. Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
2. Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
Bahasa Pengantar
1. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
2. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.
3. Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
Wajib Belajar
1. Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar
2. Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
3. Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Pendidikan Multikulturalisme
Sesuai dengan realitas objektif masyarakat Indonesia sebagai sebuah masyarakat bangsa dan plural, dalam rangka mewujudkan etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan menuntut dilaksanakannya pendidikan yang bersifat multikultural.
Fungsi nyata (manifes) lembaga pendidikan:
1. Membantu orang untuk sanggup mencari nafkah bagi kehidupannya kelak
2. Menolong orang untuk mengembangkan potensi diri untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
3. Melestarikan kebudayaan
4. Mengembangkan kemampuan berfikir dan berbicara secara rasional
5. Meningkatkan cita rasa keindahan
6. Meningkatkan taraf kesehatan dengan cara melatih jasmani melalui olah raga dan pengetahuan tentang kesehatan
7. Menciptakan warga negara yang cinta tanah air melalui pelajaran kewarganegaraan
Fungsi laten lembaga pendidikan:
1. Menunda masa kedewasaan dan memperpanjang ketergantungan
2. Menjadi saluran mobilitas sosial vertikal
3. Memelihara integrasi sosial maupun politik dalam masyarakat, melalui penggunaan Bahasa Indonesia, pelajaran kewarganegaraan, sejarah perjuangan maupun kebudayaan.
Hubungan antar-lembaga sosial
Tidak ada satupun pranata sosial yang otonom, dalam arti dapat menghindari pengaruh dari pranata sosial lain. Terjadi hubungan yang saling mempengaruhi di antara lembaga-lembaga sosial yang ada dalam masyarakat.
Dalam konteks hubungan antar-pranata sosial, Erving Goffman mengemukakan konsep tentang pranata total (total institution), yakni pranata yang memisahkan pengikutnya dari masyarakat umumnya. Misalnya: pendidikan militer atau kedinasan tertentu, lembaga pemasyarakatan (penjara), rumah sakit jiwa, dst. Seluruh aktivitas pengikut lembaga sosial harus dilakukan di dalam lembaga yang dimaksud. Sedikit berbeda dengan Goffman, Lewis Coser mengemukakan tentang pranata tamak (Greedy Institution), yakni pranata yang memonopoli loyalitas dan kesetiaan individu pengikutnya. Misalnya negara dan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar