Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa
Ada satu
pertanyaan menggelitik muncul ketika berbagai program pembangunan desa
marak diluncurkan yaitu “Apakah budaya masyarakat merupakan faktor
penting yang diperhatikan bagi input kebijakan dalam menyusun program
pembanguna desa?”. Ketika suatu kebijakan pembangunan desa mengemukakan
penghargan terhadap nilai-nilai budaya yang ditemui sangat beraneka
ragam di negeri kepulauan Nusantara ini, berartimengindikasikan suatu
penghormatan terhadap nilai budaya sebagai suatu hak individu dan hak
azasi masyarakat.
Di era pasca reformasi indikasi
terhadap nilai budaya ini, sebenarnya sudah tampak mengemuka ketika
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa diterbitkan
sebagai penjabaran lebih lanjut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Desa atau yang disebut dengan nama lain
dinyatakan sebagai kesatuan masyarakat hukum dengan batas wilayah yang
didalamnya memiliki wewenang mengatur dan mengurus kepentingan warganya
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat. Hal ini diakui dan
dihormati dalam sIstem Pemerintahan NKRI.
Betapa tidak,
jika ditelusuri jejak sejarah desa, pada tahun 1817 seorang warga
Negara Belanda yang menjabat sebagai Pembantu Gubernur Jenderal Inggris
bernama Mr. Mutinghe, menemukan adanya pemukiman di pesisir pantai Utara
Jawa. Laporan temuan ini melandasi dikeluarkannya Indlansche
Gemeente-Ordonantie (IGO) dan Indlansche Gemeentie-Ordonantie
Buitengeustatesten (IGOB) oleh pemerintah kolonial Belanda masing-masing
untuk daerah Jawa dan luar Jawa. Ini merupakan bentuk pengakuan
penghargaan terhadap hak otonomi asli desa. Demikian juga pada masa
pendudukan Jepang, pengaturan tentang desa termasuk di dalamnya hokum
adat tidak diganggu gugat, sepanjang tidak bertentangan dengan
kepentingan penjajah tentunya.
Adat istiadat atau hukum
adat sebenarnya masih sangat kental mewarnai kehidupan masyarakat desa.
Bahkan masyarakat atau komunitas tertentu di kota-kotapun banyak yang
masih membawa kebiasaan dan menerapkan adat istiadat dari desa atau
kampung halaman mereka masing-masing. Sampai di kota atau daerah
perantauan ikatan kekerabatan dalam budaya yang dimiliki masih
dipertahankan. Ambil saja contoh perkumpulan masyarakat Minang,
Tapanuli, Maluku yang tersebar di berbagai kota. Apalagi di daerah asal
mereka tentunya ikatan kekerabatan dan adat istiadat ini lebih kental
lagi. Asumsinya, banyak hal dalam kehidupan masyarakat dengan
karakteristik seperti ini, termasuk dalam hal membangun desa seharusnya
bisa menciptakan dukungan positif dan kondusif untuk mencapai tingkat
kesejahteraan masyarakatnya.
Namun, jika kita simak
pergumulan pemerintah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan sekelompok
masyarakat yang mendapat “Lebelling” alias predikat miskin selama decade
belakangan ini, serasa sebagai suatu “never ending business”. Seluruh
potensi nampaknya telah dikerahkan, namun penurunannya merambat
perlahan serasa bergeming. Bahkan sinisme yang terlontar untuk
perjuangan melawan kemiskinan ini bagaikan “Jauh Panggang dari Api”: Apa
pasalnya? Apakah kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai budaya yang
pekat mewarnai kehidupan dan interaksi social masyarakat desa memang
benar-benar tidak mampu menjembatani jurang dalam antara si miskin dan
si kaya di desa sehingga desa semakin tidak nyaman untuk ditinggali yang
mengakibatkan orang desa berbondon-bondong hijrah ke kota ? atau
jangan-jangan implementasi kebijakan yang sudah tegas meletakkan dasar
keberpihakan pada masyarakat dan desa tergiring kearah yang keluar dari
arah sasaran?
Mari kita lihat payung hukum lewat
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pelatihan dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai-Nilai Sosial Budaya
Masyarakat. Upaya pelestarian dan pengembangan dimaksudkan untuk
memperkokoh jati diri individu dan masyarakat dalam mendukung kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya mendukung
pengembangan budaya nasional dalam mencapai kualitas ketahanan nasional
dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagi
institusi pemberdayaan masyarakat seperti Direktorat Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Ditjen PMD) ada dua aspek pokok
penting yang menjadi titik perhatian. Yang pertama, dalam rangka
mencapai tujuan prioritas sebagai bagian dari rencana strategis sampai
tahun 2014 mendatang adat istiadat dan nilai social budaya masyarakat
harus menjadi “obat kuat” yang memperkokoh jati diri individu dan
masyarakat untuk mendukung kelancaran pemerintahan dan pembangunan. Yang
kedua, dalam rangka mencapai peningkatan kualitas ketahanan nasional
dan keutuhan NKRI, mau tidak mau pelestarian dan pengembangan adat
istiadat dan nilai-nilai social budaya harus dilakukan.
Masalahnya sekarang, bagaimana memastikan dan apa cirinya kalau suatu
pembangunan desa memiliki konsep, program dan strategi pelaksanaan
berdasarkan adat isitiadat dan nilai-nilai social budaya? Semisal
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), prosesnya sarat dengan
forum musyawarah. Soal bermusyawarah kalau dilihat dari perspektif
budaya atau adat istiadat sudah melekat pada proses interaksi social
yang ada dalam komunitas desa. Namun musyawarah yang dikenalkan
nampaknya melalui prosedur atau tahapan yang selain diperkenalkan dengan
istilah-istilah baru yang bernuansa modern juga melalui tahapan yang
cukup panjang. Kalau saja dapat memakai aturan adat istiadat atau
kebiasaan yang berlaku di masyarakat mungkin istilah “selesaikan secara
adat” bisa lebih efektif dan efisien dan bahkan juga ekonomis. Yah,
bagaimana kita tahu kalau tidak ada keberanian untuk mencobanya?
Oleh : Abraham Raubun
Tenaga Ahli Utama Sekretariat PDT
Sumber :TERPADU, Media Komunikasi Pembangunan Desa Terpadu, 2011, Volume 1 Tags :Menggelitik Adat Istiadat dan Nilai Budaya Sosial dalam Pembangunan Masyarakat dan Desa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar