Selasa, 26 Januari 2010


MODERNISASI, URBANISASI,DAN INDUSTRIALISASI

Pengertian Modernisasi

Modernisasi dapat diartikan sebagai proses perubahan dari corak kehidupan masyarakat yang “tradisional” menjadi “modern”, terutama berkaitan dengan teknologi dan organisasi sosial. Teori modernisasi dibangun di atas asumsi dan konsep-konsep evolusi bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah (linier), progresif dan berlangsung perlahan-lahan, yang membawa masyarakat dari tahapan yang primitif kepada keadaan yang lebih maju.

Tradisionalitas

Istilah tradisional berasal dari kata Latin “traditum” yang artinya sesuatu yang diteruskan atau diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Sesuatu yang diwariskan dapat berupa:

1. Sistem nilai, dapat berupa kepercayaan, keyakinan, agama, idea atau gagasan
2. Cara hidup (oleh Emmile Durkheim disebut sebagai fakta sosial, yakni cara berfikir, berperasaan dan bertindak para warga masyarakat yang mengikat).
3. Teknologi
4. Lembaga atau pranata sosial

Suatu masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat tradisional apabila hidup dengan sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan bertindak, teknologi dan lembaga atau pranata sosial yang diwariskan dan secara turun temurun dipelihara.

Contoh masyarakat tradisional: masyarakat atau komunitas desa.

Ciri-ciri tradisional masyarakat perdesaan:

Masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah dengan batas-batas tertentu dan di antara para warganya mempunyai hubungan yang lebih erat dan mendalam daripada hubungannya dengan orang-orang yang berada di luar batas wilayahnya.

William F. Oughburn dan Nimkoff Meyer memberikan definisi bahwa desa adalah sebuah organisasi kehidupan sosial yang menyeluruh di dalam suatu wilayah dengan batas-batas tertentu (a total organization of social life within a limited area).

Terdapat banyak macam desa, tetapi berikut ini dikemukakan tiga macam desa menurut perkembangannya:

1. Desa swadaya, yaitu desa yang masih bersifat tradisional. Adat istiadat mengikat kuat. Mata pencaharian penduduknya semacam dan diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Tingkat produktivitasnya rendah dan sarana kehidupannya kurang.
2. Desa swakarya, yaitu desa yang adat istiadatnya sudah mulai mengalami perubahan karena pengaruh kebudayan dari luar desa yang telah mulai masuk. Lapangan pekerjaan dan mata pencaharian mulai terdiferensiasi dan berkembang dari sektor primer ke sekunder. Produktivitas desa mulai meningkat seiring dengan mulai bertambahnya sarana dan prasarana desa.
3. Desa swasembada, yaitu desa yang telah mengalami kemajuan, ikatan adat istiadat tidak kuat lagi, teknologi telah digunakan dalam proses produksi barang dan jasa, mata pencaharian masyarakatnya beraneka ragam. Sarana dan prasarana desa sudah memadai, bahkan di beberapa desa tidak dapat lagi dibedakan dari sarana dan prasarana kota, seperti: jaringan listrik dan telepon, air minum, jalan beraspal, angkutan umum, dan sebagainya.

Meskipun demikian ada beberapa ciri umum masyarakat desa, yaitu:

1. Isolasi, yakni hubungan yang terbatas dengan orang-orang di luar desa, sebuah komunitas desa bisa jadi terpisah hubungannya dengan komunitas desa lain. Karena keterbatasan ini menjadikan seorang warga desa sangat mengenal warga desa yang lainnya seluruh aspek kepribadiannya, bukan hanya peran dan fungsinya dalam masyarakat.
2. Homogenitas, yakni keseragaman yang relatif mengenai latar belakang etnik, keluarga maupun cara hidup di antara para warga desa
3. Pertanian. Kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat desa identik dengan masyarakat pertanian. Tentunya pertanian dalam arti luas, yang menyangkut aktivitas bercocok tanam, beternak, memelihara ikan maupun berkebun. Kalaupun ada warga desa yang berstatus sebagai pegawai negara, guru, dokter, petugas keamanan, macam-macam tukang, dan sebagainya, tetapi mereka tetap terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas pertanian.
4. Ekonomi subsisten, artinya aktivitas ekonomi masyarakat desa dioerientasikan kepada menghasilkan barang-barang dan jasa untuk mencukupi keperluan sendiri, tidak diorientasikan kepada ekonomi pasar.

Sebagai pembanding mengenai ciri-ciri masyarakat desa, berikut ini dikemukakan rincian yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren:

1. Masyarakat desa memiliki sifat yang homogen dalam hal mata pencaharian, kebudayaan dan tingkah laku
2. Kehidupan masyarakat desa menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi dan berperan dalam pengambilan keputusan
3. Faktor geografi sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada, misalnya keterkaitan anggota masyarakat dengan tanah atau desa kelahirannya
4. Hubungan sesama warga desa lebih intim dan awet dari pada kota

Sedangkan Rogers mengemukakan ciri masyarakat desa, sebagai berikut:

1. Mutual distrust interpersonal relations (rasa ketidakpercayaan timbal balik di antara warga desa berkaitan dengan sumber-sumber ekonomi desa seperti tanah)
2. Perceived limited group (pandangan untuk maju yang sempit dan terbatas)
3. Dependence on hostility towards government authority (ketergantungan dan sekaligus curiga terhadap pemerintah atau kepada unsur-unsur pemerintah)
4. Familiesm (adanya keakraban dan keintiman hubungan sosial di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah)
5. Lack of innovationess (rasa enggan untuk menciptakan atau menerima ide baru)
6. Fatalism (pandangan bahwa kegagalan atau keberhasilan lebih banyak ditentukan oleh faktor eksternal dari pada faktor internal dalam diri warga masyarakat. Dalam hal ini Dr. Nasikun mengemukakan tiga macam bentuk fatalisme masyarakat perdesaan: (1) supernaturalism, (keberhasilan atau kegagalan ditentukan oleh sesuatu yang bersifat supernatural/ghaib), (2) situational fatalism (sikap apatis dan pasif terhadap kemungkinan perbaikan kehidupan karena kondisi atau situasi kehidupan tertentu, karena orang kecil, karena tanah pertaniannya sempit, dan sebagainya), (3)project negativism (sikap apatis dan pasif terhadap inovasi atau pembaruan yang disebabkan oleh kegagalan-kegagalan yang telah dialami dan dihayati di masa silamLimited aspiration (adanya keterbatasan dan ketidakmampuan menyatakan dan menyalurkan keinginan-keinginan)
7. Lack of deferred gratification (ketidakmampuan menunda kesenangan dan kenikmatan hidup sekarang, misalnya hasrat menabung atau berinvestasi)
8. Limited view of this world (pandangan yang terbatas terhadap dunia luar)Low emphatic (yakni rendahnya ketrampilan “menangkap” peranan orang lain, misalnya ketidakmampuan memahami keadaan orang lain).

Modernitas

Istilah modern berasal dari kata “modo” yang artinya “yang kini” (just now). Dengan demikian masyarakat dinyatakan modern apabila para warganya hidup dengan sistem nilai, cara berfikir, berperasaan dan bertindak, teknologi serta organisasi sosial yang baru, yang sesuai dengan konstelasi zaman sekarang. Contoh masyarakat modern adalah masyarakat kota.

Ciri-ciri modern masyarakat perkotaan

Memberikan definisi atau batasan tentang kota tidaklah mudah. Banyak aspek yang harus menjadi perhatian dan dapat menjadi dasar penyusunan batasan. Suatu masyarakat dinyatakan sebagai kota dapat karena kehidupan sosialnya, dapat karena keadaan budayanya, dapat karena kehidupan ekonominya, pemerintahannya, ataupun jumlah dan kepadatan penduduknya.

Prof. Bintarto memberikan batasan bahwa kota merupakan suatu jaringan kehidupan sosial dan ekonomi yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai oleh strata sosial dan ekonomi yang heterogen dan coraknya yang materialistik.

Kota merupakan fenomena yang unik dan kontradiktif. Di satu sisi kota merupakan identifikasi kemajuan, kegembiraan dan daya tarik: sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan hiburan, kesehatan dan pengobatan, dan sebagainya. Di sisi yang lain, kota ternyata identik pula dengan perilaku buruk, immoralitas dan bahkan kejahatan: hedonisme atau kemewahan hidup, pemuasan diri tanpa batas, kepura-puraan dan ketidakjujuran,

Beberapa ciri umum masyarakat kota dikemukakan sebagai berikut:

Anonimitas

Kebanyakan warga kota hidup dengan menghabiskan waktunya di tengah kumpulan manusia yang anonim. David Riesman menyebutnya sebagai “the lonely crowd”. Heterogenitas kehidupan kota dengan keanekaragaman manusianya dari segi ras, etnisitas, kepercayaan, pekerjaan maupun kelas sosial mempertajam anonimitas. Perbedaan kepentingan membuat orang-orang kota lebih banyak berhubungan, berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan orang-orang yang memiliki kepentingan yang sama saja dengan membentuk special interested group (kelompok kepentingan khusus) dan tidak berkesempatan membentuk hubungan sosial yang bersifat akrab dan personal.

Jarak sosial yang jauh

Secara fisik orang-orang kota berada dalam jarak yang dekat dan keramaian, tetapi secara sosial, atau juga psikologikal, mereka saling berjauhan, sebagai akibat anonimitas, impersonalitas dan heterogenitas.

Regimentation (keteraturan hidup) kota

Irama dan keteraturan kehidupan kota berbeda dengan irama dan keteraturan hidup di perdesaan yang diwarnai oleh katidakformalan dan kesantaian, bersifat mekanik alamiah, sangat dipengarahui oleh keadaan alam dan cuaca serta jam biologis binatang atau ternak. Keteraturan hidup di perkotaan lebih bersifat organik, diatur oleh aturan-aturan legal rasional, seperti jam kerja, rambu-rambu dan lampu pengatur lalu-lintas, jadwal kereta api, jadwal penerbangan, dan sebagainya.

Keramaian (crowding)

Keramaian hidup di kota disebabkan oleh kepadatan, kecepatan dan tingginya aktivitas kehidupan masyarakat kota.

Kepribadian kota

Sorokin, Zimmerman dan Louis Wirth dalam esainya “Urbanism as a Way of Life” membuat kesimpulan bahwa kehidupan kota menciptakan kepribadian kota, yakni: anomies, materialistis, berorientasi kepentingan, berdikari (self sufficiency), impersonal, tergesa-gesa, interaksi sosial tingkat dangkal, manipulatif, rakayasa, insekuritas dan disorganisasi pribadi.

Proses modernisasi

Menurut Samuel Huntington proses modernisasi mengandung beberapa ciri pokok sebagai berikut:

1. Merupakan proses bertahap, dari tatanan hidup yang primitif-sederhana menuju kepada tatanan yang lebih maju dan kompleks
2. Merupakan proses homogenisasi. Modernisasi membentuk struktur dan kecenderungan yang serupa pada banyak masyarakat. Penyebab utama proses homogenisasi ini adalah perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Contoh: fenomena coca colonization, Mc world serta californiazation.
3. Terwujud dalam bentuk lahirnya sebagai: Amerikanisasi dan Eropanisasi
4. Merupakan proses yang tidak bergerak mundur, tidak dapat dihindrkan dan tidak dapat dihentikan
5. Merupakan proses progresif (ke arah kemajuan), meskipun tidak dapat dihindari adanya dampak (samping).
6. Merupakan proses evolusioner, bukan revolusioner dan radikal; hanya waktu dan sejarah yang dapat mencatat seluruh proses, hasil maupun akibat-akibat serta dampaknya

Alex Inkeles dan David Smith mengemukakan ciri-ciri individu modern, sebagai berikut:

1. Memiliki alam pikiran (state of mind) yang terbuka terhadap pengalaman baru
2. Memiliki kesanggupan membentuk dan menghargai opini
3. Berorientasi ke depan
4. Melakukan perencanaan
5. Percaya terhadap ilmu pengetahuan
6. Memiliki keyakinan bahwa segala sesuatu dapat diperhitungkan
7. Menghargai orang lain karena prestasinya
8. Memiliki perhatian terhadap persoalan politik masyarakat
9. Mengejar fakta dan informasi

Modernisasi bukan westernisasi

Bahwa modernisasi itu identik dengan westernisasi memang pandangan yang tidak mudah dihindarkan. Hal ini karena sejarah modernisasi memang sejarah masyarakat Barat, dalam hal ini Eropa Barat dan Amerika Utara. Tema-tema yang menunjukkan ciri-ciri orang modern seperti yang diungkapkan oleh Inkeles dan Smith memang lebih banyak dimiliki oleh orang Barat, sehingga menjadi modern memang identik dengan menjadi seperti orang Barat. Namun demikian modernisasi dan westernisasi tetap dapat dibedakan karena memang berbeda. Seperti tersebut di depan bahwa tekanan proses modernisasi adalah pada teknologi dan organisasi sosial atau tata kerja. Dr. Nurcholish Madjid menyebutnya sebagai semacam proses rasionalisasi, yakni perubahan tata kerja lama yang tidak rasional diganti dengan tata kerja baru yang rasional. Sedangkan westernisasi adalah menjadi seperti orang Barat secara total, tanpa reserve, mulai dari pandangan hidup (ateisme, sekularisme, feminisme, humanisme, dan sebagainya) sampai dengan gaya hidupnya (seks bebas dan hidup bersama tanpa menikah (cohabitation), model pakaian yang tidak menutup atau bahkan menonjolkan aurat, NAPZA, gang, dan sebagainya).

Syarat berlangsungnya modernisasi

Modernisasi dalam masyarakat dapat berlangsung apabila memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

1. Terlembagakannya cara berfikir ilmiah di kalangan masyarakat, terutama di kalangan the rulling class
2. Birokrasi pemerintahan yang rasional, efektif dan efiesien, bukan birokratisme
3. Tersedianya sistem informasi yang baik: cepat dan akurat
4. Iklim yang favorable terhadap modernisasi, hal ini terutama dengan hal-hal yang menyangkut nilai atau sistem keyakinan
5. Tingkat organisasi sosial yang tinggi
6. Pelaksanaan social planning yang terbebas dari pengaruh atau kepentingan (vested interested) suatu golongan. Untuk hal ini diperlukan sentralisasi wewenang berkaitan dengan social planning.

Gejala Modernisasi Masyarakat Indonesia dalam Berbagai Bidang

Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Modernisasi di bidang kehidupan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terutama menyangkut dua hal, yakni penemuan baru dan pembaruan. Oleh karena itu, modernisasi di bidang IPTEK tidak dapat lepas dari perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan, penelitian dan pengembangan. Kegiatan pendidikan, penelitian dan pengembangan akan mendorong ditemukannya ide-ide dan alat-alat baru yang dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat untuk melengkapi atau mengganti yang lama.

Bidang Kehidupan politik dan ideologi

Tema modernisasi di bidang politik dan ideologi adalah demokratisasi dan ideologi terbuka. Demokratisasi merupakan proses ke arah terbukanya kesempatan bagi seluruh warga masyarakat dari segala lapisan dan golongan untuk berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Sedangkan ideologi terbuka merujuk kepada pandangan hidup yang tidak terbatasi atau terkotak-kotak oleh sektarianisme, primordialisme, aliran, ras, etnisitas atau kesukubangsaan, kedaerahan, agama ataupun aliran.

Menurut Huntington, proses demokratisasi dan keterbukaan memerlukan beberapa prakondisi, yaitu:

1. kemakmuran ekonomi dan pemerataan kekayaan; ada hubungan yang positif antara pembangunan dan pemerataan ekonomi dengan demokratisasi, artinya semakin maju tingkat ekonomi suatu masyarakat semakin besar peluangnya untuk menumbuhkan dan menegakkan tatanan kehidupan politik yang demokratis dan terbuka. Kemakmuran ekonomi akan memungkinkan tumbuhnya tingkat melek-huruf, pendidikan dan media massa yang sangat mendorong tumbuhnya demokrasi.
2. Terdapatnya kelas menengah yang otonom dalam struktur sosial masyarakat. Mereka terdiri atas para kaum intelektual, pengusaha, profesional, tokoh agama atau etnis) yang berfungsi dalam pengendalian (kontrol) terhadap kekuasaan dan membangun prasarana dasar untuk tumbuhnya pranata politik yang demokratik. Apabila tidak terdapat kelas menengah tang otonomi masyarakat cenderung didominasi oleh suatu model kekuasaan yang sentralistik, seperti monarkhi, absolutisme, korporatik ataupun birokratik otoritarian.
3. Lingkungan internasional; secara ringkas Huntington menyatakan bahwa demokrasi lebih merupakan hasil dari difusi dari pada sebagai akibat pembangunan, sehingga suatu masyarakat menjadi lebih demokratis ketika memiliki lingkungan pergaulan internasional yang luas
4. Konteks budaya masyarakat yang bersifat egaliter. Konteks budaya feodal dan patrimonial ternyata menghambat demokratisasi.

Bidang Kehidupan Ekonomi

Tema modernisasi di bidang kehidupan ekonomi adalah efisiensi dan produktivitas.

Masalah yang banyak melanda di berbagai masyarakat berkembang adalah inefisiensi dan rendahnya produktivitas. Inefisiensi disebabkan oleh ekonomi biaya tinggi (high-cost economy) di hampir semua bidang kehidupan. Sumber-sumber ekonomi biaya tinggi itu antara lain:

1. birokratisme pemerintah
2. pungutan-pungutan yang tidak berhubungan dengan produktivitas
3. proteksi dan subsidi
4. berbagai praktek bussiness atau economic criminality (white collar crime), seperti: nepotisme, kolusi dan korupsi (NKK).

Sedangkan produktivitas yang rendah disebabkan oleh teknik dan organisasi produksi yang usang. Oleh karenanya peningkatan produktivitas dilakukan dengan memperbarui teknologi, baik teknologi mekanik (mesin-mesin produksi), teknologi kimia (penggunaan obat-obatan dan zat kimia) dan teknologi sosial (tata kerja yang lebih teratur dan organik).

Bidang kehidupan agama dan kepercayaan

Suatu proses yang tidak terhindarkan dan meresahkan para tokoh dan kalangan agamawan dalam proses modernisasi di bidang kehidupan beragama dan kepercayaan adalah sekularisasi.

Kata sekularisasi berasal dari kata “saeculum” yang artinya “dunia dalam konteks waktu”, yaitu “sekarang”. (Dunia dalam konteks ruang dalam kata Latin adalah “mundus”). Lawannya “saeculum” adalah “eternum” yang artinya “keabadian”. Dari kata “saeculum” tersebut terbentuklah istilah “sekularisasi” dan “sekularisme”.

Di Indonesia idea tentang “sekularisasi” diperkenalkan oleh seorang tokoh pembaruan pemikirian Islam, yakni Nurcholish Madjid pada tahuan 1970-an. Bagi Nurcholish Madjid, sekularisasi tidak sama dengan sekularisme. Sekularisasi adalah proses dan sekularisme adalah faham. Sekularisasi merupakan proses menuju kepada kehidupan beragama yang rasional, yakni proses pembebasan diri dari belenggu takhayul (superstition) atau memberikan wewenang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membina dan menyelesaikan urusan-urusan duniawi. Di dalamnya tercakup sikap objektif dalam menelaah hukum-hukum yang menguasai dunia dan alam pada umumnya. Sedangkan sekularisme merupakan faham keduniawian, yakni suatu faham yang mengesampingkan agama. Ada dua macam sekularisme, yakni: (1) sekularisme moderat dan (2) sekularisme mutlak. Sekularisme moderat merupakan pandangan yang mengakui keberadaan Tuhan untuk urusan-urusan yang berhubungan dengan kehidupan abadi (eternum) saja, sedangkan untuk urusan dunia adalah mutlak urusan manusia. Sedangkan sekularisme mutlak merupakan faham yang tidak mengakui adanya Tuhan, puncaknya adalah atheisme.

Namun demikian kenyataannya tidak dapat dihindarkan pengertian sekularisasi sebagai proses menuju atau penerapan faham sekularisme dalam kehidupan masyarakat. Di sinilah timbulnya perbedaan pendapat dan kontroversi tentang sekularisasi. Untuk menghindari kontrovesi demikian ini, Dr. Kuntowijoyo menggunakan istilah objektivikasi untuk fenomena kehidupan beragama yang lebih rasional.

Modernisasi Masyarakat sebagai Proses Industrialisasi dan Urbanisasi

Modernisasi sebagai proses industrialisasi

Apabila melihat sejarah Eropa, maka modernisasi tidak lepas dari proses industrialisasi. Kesejahteraan ekonomi dan kestabilan politik di Eropa tercapai setelah terjadinya revolusi industri yang diawali oleh masa pencerahan (renaisance) dan penemuan-penemuan baru. Berdasarkan ini dapat dinyatakan bahwa awal modernisasi adalah industrialisasi, yakni berubahnya kehidupan dari “agraris-tradisional” menjadi “industri-modern”.

Talcott Parson menjelaskan proses perubahan itu dalam teori variabel pola (pattern variables) sebagai berikut:

1. Perubahan dari affectivity kepada affective neutrality
2. Perubahan dari particulatism ke universalism
3. Perubahan dari collective orientation kepada self-orientation
4. Perubahan dari ascription kepada achievement
5. Perubahan dari functionally difussed kepada functionaly specivied

Modernisasi sebagai proses urbanisasi

Masyarakat modern juga identik dengan masyarakat kota, maka modernisasi identik dengan urbanisasi.

Dalam proses urbanisasi dikenal adanya tiga macam proses, yakni:

1. Centripetal process; the flow of people from country sides to the urban area accompanied with the change in behavior. Dalam proses ini terjadi aliran penduduk dari wilayah desa atau kota satelit menuju ke wilayah pusat kota yang diikuti oleh perubahan pola perilaku desa-tradisional dengan perilaku kota-modern. Sebab-sebab aliran penduduk dari desa ke kota ini dapat digolongkan menjadi dua macam, yakni: (1) push factors (faktor pendorong), dan (2) pull factors (faktor penarik). Faktor-faktor pendorong meliputi kondisi desa yang menjadikan orang tidak mau lagi tinggal di desa, seperti: minimnya lapangan kerja, kekakangan adat, kurangnya variasi hidup, sempitnya kesempatan menambah pengetahuan, kurangnya sarana rekreasi ataupun sempitnya kesempatan mengembangkan keahlian dan ketrampilan. Sedangkan faktor penarik meliputi kondisi kota yang menjadikan orang-orang tertarik untuk tinggal menetap di kota, seperti: kesempatan kerja yang lebih luas, luasnya kesempatan mengembangkan ketrampilan dan keahlian, kesempatan dan fasilitas pendidikan yang lebih memadai, kelebihan modal, variasi hidup, banyaknya tempat hiburan, kebebasan hidup di kota dan anggapan bahwa kota memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi daripada desa.
2. Centrifugal process; urban extention in terms of physical, economic, technology and culture. Dalam proses ini yang terjadi adalah meluasnya pengaruh kehidupan kota ke wilayah-wilayah pinggiran kota, dapat berupa perluasan fisik kota yang diikuti oleh perubahan kehidupan ekonomi, penggunaan teknologi maupun perubahan kebudayaan.
3. Vertical process: social, economic, culture, and behavior. Dalam proses ini yang terjadi adalah perubahan situasi atau iklim desa (rural sphere) menjadi kota (urban sphere), baik secara sosial, ekonomi, kebudayaan dan perilaku. Keadaan ini dapat terjadi antara lain oleh sebab-sebab: (1) daerah itu menjadi pusat pemerintahan, (2)letaknya strategis untuk perdagangan, atau (3) tumbuhnya industri.

Masalah-masalah yang timbul akibat urbanisasi

Bertambahnya tingkat persaingan hidup di kota akibat urbanisasi, misalnya untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi dapat menimbulkan persoalan yang pelik, seperti berbagai macam konflik, tuna karya, kejahatan yang terorganisir (organized crime) maupun yang tidak terorganisir, perkampungan kumuh (slums), gelandangan, tuna susila, maupun rendahnya tingkat kesehatan, dan sebagainya.

Sedangkan bagi desa, urbanisasi menyebabkan terbatasnya jumlah penduduk usia produktif yang berakibat terhambatnya perkembangan desa. Di samping itu para urbanit yang pulang ke desa sering membawa pengaruh kehidupan kota (urbanisme) yang tidak selalu sesuai dengan kebudayaan orang desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar